Pembangunan dan lingkungan hidup dapat dikatakan ibarat dua sisi mata uang. Ketika berbicara pembangunan, manusia lebih sering mengabaikan kondisi lingkungan, sebaliknya ketika berbicara lingkungan, manusia merasa pembangunan terhambat. Dengan semakin bertambahnya jumlah manusia, kooptasi manusia terhadap lingkungan semakin meningkat tanpa dibarengi dengan pemeliharaan dan peningkatan daya dukung lingkungan yang seimbang.
Salah satu kebutuhan manusia yang diambil dari lingkungan adalah bahan tambang, mineral bukan logam dan batuan. Kebutuhan akan bahan tambang tersebut tidak bisa dihindarkan karena manusia belum dapat menciptakan bahan penggantinya, seperti misalnya atap baja ringan yang dapat menggantikan atap kayu. Apabila ekploitasi bahan tambang tersebut dilarang, tentunya hal ini bukan kebijakan yang akan mudah diterima semua pihak karena dirasakan akan sangat menghambat perekonomian dan pembangunan. Namun dalam pelaksanaannya, ekploitasi bahan tambang tersebut telah menimbulkan degradasi lingkungan.
Sebenarnya perhatian terhadap lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan telah ada sejak puluhan tahun lalu. Konperensi PBB tentang Lingkungan Hidup yang diadakan di Stockholm Tahun 1972 dan suatu Deklarasi Lingkungan Hidup KTT Bumi di Rio de Janeiro Tahun 1992 menyepakati prinsip dalam pengambilan keputusan pembangunan harus memperhatikan dimensi lingkungan dan manusia serta KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg Tahun 2002 yang membahas dan mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup. Demikian juga dengan Pemerintah Indonesia, Pemerintah telah meratifikasi konperensi dan deklarasi tersebut di atas dengan berbagai peraturan yang mendukung kualitas lingkungan. Namun dalam kenyataannya, eksploitasi lingkungan selalu berjalan lebih cepat daripada pemeliharaan dan peningkatan daya dukung lingkungan itu sendiri.
Degradasi lingkungan akibat eksploitasi bahan tambang tersebut juga terjadi di Kabupaten Sumedang, terutama di sekitar wilayah Gunung Tampomas yang memiliki potensi pasir cukup besar. Gunung Tampomas merupakan gunung terbesar di Kabupaten Sumedang dikelilingi oleh Kecamatan Cimalaka, Kecamatan Paseh dan Kecamatan Buahdua. Tidak diketahui secara pasti kapan dimulainya eksploitasi bahan tambang di sekitar Gunung Tampomas tersebut, namun hal yang pasti adalah terjadinya degradasi lingkungan dan gangguan kenyamanan bagi masyrakat yang sangat nyata. Mata air dan sumber air banyak yang mengering, contoh nyata pada tahun 1980 – an selokan dari mata air Cipanteuneun ke Desa Cimalaka memiliki air yang banyak dan dapat dipakai berenang oleh anak – anak, memasuki tahun 2000 – an sampai sekarang selokan tersebut kering kerontang; belum lagi kerusakan infrastruktur jalan akibat tonase kendaraan yang melebihi kelas jalan serta gangguan kenyamanan terhadap masyarakat pada jalur angkutan bahan tambang tersebut.
Baca Artikel: Peraturan Pertambangan Batubara: Perusahaan Wajib Kantongi Izin Eksportir (ET)
Dalam perizinan eksploitasi bahan tambang di Kabupaten Sumedang, tentunya Pemerintah Kabupaten Sumedang telah membuat peraturan – peraturan yang dapat meminimalisir degradasi lingkungan. Namun masih perlu ditingkatkan, terutama dalam perhitungan kerugian akibat kerusakan lingkungan dibandingkan dengan nilai ekonomi yang diperoleh. Dengan demikian, diperlukan valuasi ekonomi terhadap bahan tambang, mineral bukan logam dan batuan yang hasilnya dijadikan sebagai instrumen perizinan eksploitasi bahan tambang tersebut.
Kerangka Pikir Pilar Pembangunan.
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa salah satu aspek dalam pelestarian lingkungan adalah instrumen ekonomi lingkungan. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dengan demikian, menurut Mubarok dan Ciptomulyono (2012) instrumen ekonomi dalam pengelolaa lingkungan sepatutnya mencakup valuasi ekonomi. Dalam valuasi ekonomi, tidak manfaat tangible yang dapat terkuantifikasikan (dapat dinilai dengan uang), tetapi manfaat intangible juga dapat dinilai dengan uang. Valuasi ekonomi memiliki peran penting dalam melakukan kuantifikasi nilai lingkungan dan sebagai instrumen untuk memperkirakan nilai dampak lingkungan. Pada prinsipnya, valuasi ekonomi dilakukan untuk memberikan suatu harga atau memperhitungkan suatu nilai dari sumber daya yang digunakan dalam bentuk uang.
Pasal 42 Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup, dimana instrumen ekonomi tersebut meliputi :
a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;
b. pendanaan lingkungan hidup; dan
c. insentif dan/atau disinsentif.
Demikian artikel Degradasi Lingkungan Akibat Eksploitasi Bahan Tambang ini kami buat semoga ber manfaat amin,,
Salah satu kebutuhan manusia yang diambil dari lingkungan adalah bahan tambang, mineral bukan logam dan batuan. Kebutuhan akan bahan tambang tersebut tidak bisa dihindarkan karena manusia belum dapat menciptakan bahan penggantinya, seperti misalnya atap baja ringan yang dapat menggantikan atap kayu. Apabila ekploitasi bahan tambang tersebut dilarang, tentunya hal ini bukan kebijakan yang akan mudah diterima semua pihak karena dirasakan akan sangat menghambat perekonomian dan pembangunan. Namun dalam pelaksanaannya, ekploitasi bahan tambang tersebut telah menimbulkan degradasi lingkungan.
Sebenarnya perhatian terhadap lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan telah ada sejak puluhan tahun lalu. Konperensi PBB tentang Lingkungan Hidup yang diadakan di Stockholm Tahun 1972 dan suatu Deklarasi Lingkungan Hidup KTT Bumi di Rio de Janeiro Tahun 1992 menyepakati prinsip dalam pengambilan keputusan pembangunan harus memperhatikan dimensi lingkungan dan manusia serta KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg Tahun 2002 yang membahas dan mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup. Demikian juga dengan Pemerintah Indonesia, Pemerintah telah meratifikasi konperensi dan deklarasi tersebut di atas dengan berbagai peraturan yang mendukung kualitas lingkungan. Namun dalam kenyataannya, eksploitasi lingkungan selalu berjalan lebih cepat daripada pemeliharaan dan peningkatan daya dukung lingkungan itu sendiri.
Degradasi lingkungan akibat eksploitasi bahan tambang tersebut juga terjadi di Kabupaten Sumedang, terutama di sekitar wilayah Gunung Tampomas yang memiliki potensi pasir cukup besar. Gunung Tampomas merupakan gunung terbesar di Kabupaten Sumedang dikelilingi oleh Kecamatan Cimalaka, Kecamatan Paseh dan Kecamatan Buahdua. Tidak diketahui secara pasti kapan dimulainya eksploitasi bahan tambang di sekitar Gunung Tampomas tersebut, namun hal yang pasti adalah terjadinya degradasi lingkungan dan gangguan kenyamanan bagi masyrakat yang sangat nyata. Mata air dan sumber air banyak yang mengering, contoh nyata pada tahun 1980 – an selokan dari mata air Cipanteuneun ke Desa Cimalaka memiliki air yang banyak dan dapat dipakai berenang oleh anak – anak, memasuki tahun 2000 – an sampai sekarang selokan tersebut kering kerontang; belum lagi kerusakan infrastruktur jalan akibat tonase kendaraan yang melebihi kelas jalan serta gangguan kenyamanan terhadap masyarakat pada jalur angkutan bahan tambang tersebut.
Baca Artikel: Peraturan Pertambangan Batubara: Perusahaan Wajib Kantongi Izin Eksportir (ET)
Dalam perizinan eksploitasi bahan tambang di Kabupaten Sumedang, tentunya Pemerintah Kabupaten Sumedang telah membuat peraturan – peraturan yang dapat meminimalisir degradasi lingkungan. Namun masih perlu ditingkatkan, terutama dalam perhitungan kerugian akibat kerusakan lingkungan dibandingkan dengan nilai ekonomi yang diperoleh. Dengan demikian, diperlukan valuasi ekonomi terhadap bahan tambang, mineral bukan logam dan batuan yang hasilnya dijadikan sebagai instrumen perizinan eksploitasi bahan tambang tersebut.
Kerangka Pikir
Sejatinya pembangunan harus memperhatikan tiga pilar, yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dalam pelaksanaannya, lingkungan lebih sering dan banyak dikorbanan demi kepentingan sosial dan ekonomi. Diperlukan suatu kesetimbangan ketiga pilar tersebut sehingga diperoleh pembangunan yang dapat mensejahterkan masyarakat dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini :Kerangka Pikir Pilar Pembangunan.
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa salah satu aspek dalam pelestarian lingkungan adalah instrumen ekonomi lingkungan. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dengan demikian, menurut Mubarok dan Ciptomulyono (2012) instrumen ekonomi dalam pengelolaa lingkungan sepatutnya mencakup valuasi ekonomi. Dalam valuasi ekonomi, tidak manfaat tangible yang dapat terkuantifikasikan (dapat dinilai dengan uang), tetapi manfaat intangible juga dapat dinilai dengan uang. Valuasi ekonomi memiliki peran penting dalam melakukan kuantifikasi nilai lingkungan dan sebagai instrumen untuk memperkirakan nilai dampak lingkungan. Pada prinsipnya, valuasi ekonomi dilakukan untuk memberikan suatu harga atau memperhitungkan suatu nilai dari sumber daya yang digunakan dalam bentuk uang.
Pasal 42 Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup, dimana instrumen ekonomi tersebut meliputi :
a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;
b. pendanaan lingkungan hidup; dan
c. insentif dan/atau disinsentif.
Demikian artikel Degradasi Lingkungan Akibat Eksploitasi Bahan Tambang ini kami buat semoga ber manfaat amin,,
0 Response to "Degradasi Lingkungan Akibat Eksploitasi Bahan Tambang"
Posting Komentar